Rameune.com, Jakarta – Terus meningkatnya kasus Covid-19 menjadi alasan pemerintah seakan-akan masyarakat yang tidak disiplin dan tidak taat aturan protokoler kesehatan, hal itu menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Skala Mikro, yakni dari tingkat RT/RW atau desa, khususnya di tujuh provinsi yang terdapat dengan jumlah tertinggi kasus positif Virus Corona.
Hal tersebut mendapat kritik dari dewan pengurus pusat gerakan milenial Indonesia ( DPP GEMEI ). Menurut mereka bahwa kebijakan PPKM atau singkatnya pembatasan sosial dan pembatasan aktivitas ekonomi, hal itu tidak akan efektif jika kebutuhan dasar hidup manusia masih belum terpenuhi, apalagi hidup masyarakat semakin hari semakin sulit.
“Tentunya menurut kami kebijakan PPKM atau apalah namanya itu enggak akan efektif, masyarakat enggak akan peduli, apalagi kebutuhan hidup semakin sulit. Jadi saya kira kebijakan itu percuma aja”, kata Ketua Umum Kornas-Jokowi, melalui siaran persnya, Kamis (18/02/2021).
Karena lanjut Albar, kebijakan tersebut justru hanya menyusahkan rakyat, pembatasan aktivitas perekonomian malah akan melumpuhkan perekonomian negara. Oleh karenanya, ia menyarankan agar Presiden Jokowi untuk berani mengambil alih kepemimpinan sebagai panglima perangnya, karena menurutnya sekarang adalah perang, bukan hanya sekedar melawan pandemi, “ini perang ekonomi melalui kesehatan”, jelas Albar ( ketua Umum DPP GEMEI ).
Sebagai contoh sindir Albar, negara atau Presiden Jokowi tidak boleh tunduk dengan aturan-aturan WHO, seperti halnya India, Cuba dan negara-negara yang berdaulat penuh, kedua negara tersebut tidak mau didikte dengan aturan WHO dan Kapitalisme Internasional.
Kedua negara tersebut lanjut Albar ( ketua Umum DPP GEMEI ), menggunakan produk vaksin dalam negerinya sendiri. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang menggunakan vaksin buatan luar negeri. Maka kata Albar, jangan heran jika oligarki ekonomi nasional yang mendapatkan keuntungannya dengan adanya produk import tersebut.
“Untuk itu pentingnya presiden mengambil alih sebagai panglima perang sebagai panglima tertinggi yang tidak mau didikte oleh kapitalisme internasional. Kalau presiden masih beraninya cuma di balik layar dan apalagi mau didikte oleh anak buahnya, itu sama aja jadi orang penakut. Kalau presidennya takut, negara kita bisa hancur!”, tegas Albar.
Dengan demikian Presiden Jokowi tidak perlu lagi hanya menunggu laporan dari para bawahannya, yang selama ini menyajikan data-data yang belum tentu kebenarannya, khususnya data peningkatan jumlah kasus terpaparnya Covid-19.
“Nah.. pertanyaan kami dari mana asal data-data itu? valid enggak data-datanya? Jadi, tidak usah takutlah presiden dengan propaganda kapitalis internasional yang cuma natut-nakuti aja. Nanti malah gujug-gujug akibat didikte ujung-ujungnya nambah utang lagi. Kalau sudah begitu rakyat lagi yang kena imbasnya”, pungkas Albar.
Senada dengan Ketua Umumnya, Sekjen DPP GEMEI Sahril Ramadhan yang menguatkan argumentasi Ketua Umumnya yang mensinyalir adanya dikte kapitalis internasional melalui kaki tangannya, yakni oligarki ekonomi nasional yang membeli vaksin luar negeri sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.
“Tentu saya sependapat dengan ketum, kami curiga di negara kita ada kaki tangan kapitalisme internasional, kita sebut mereka itu oligarki ekonomi nasional, mereka ini yang mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan membeli atau parahnya berutang vaksin dari luar negeri. Maka, pertanyaannya kan simple ya.. kenapa enggak produksi sendiri aja, kan masih cukup waktu?”, papar Sahril Ramadhan.
Terlepas dari itu, pihaknya juga menegaskan dan meminta agar kebijakan pembatasan sosial dan pembatasan aktivitas ekonomi yang menyengsarakan rakyat tersebut untuk ditinjau kembali.
“Mestinya tidak perlu lagi adanya pembatasan sosial dan pembatasan perekonomian, yang perlu sekarang perketat aja protokoler kesehatan. dan yang paling terpenting kan masyarakat juga patuh dengan Protokoler kesehatan, bukan malah membatasi aktivitas perekonomian atau aktivitas sosial itu. Cukup perketat protokol kesehatan sudah cukup. Ungkapnya