Mungkin sampai saat ini masih terbesit di benak Anda dengan kata ini, bisa jadi Anda sedang bingung dengan kata tersebut sehingga berkeinginan untuk melanjutkan membaca artikel ini, kata “Rameune” sudah merambah dan familiar bagi masyarakat Aceh khususnya masyarakat yang berdomisili di pantai Barat-Selatan Aceh. Masyarakat Aceh ABG (Aceh Blah deh Geurutee) bahkan sering menyelipkan kata Rameune dalam percakapan sehari-hari, walaupun yang mengucapnya tidak mengetahui maknanya sama sekali. Sehingga tak jarang kata “meurameune” “leu that rameune” sudah menjadi suatu istilah yang mendeskripsikan suatu tabiat tertentu. Padahal jika ditinjau dari sisi budaya, meurameune adalah bagian dari unsur budaya masyarakat Nagan Raya yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Maka sudah seharusnya
kita sebagai makhluk sosial saling menghargai antara satu budaya dengan budaya
lainnya yang memiliki ciri khas masing-masing. Dengan adanya keberagaman budaya
dalam masyarakat, kita dituntut untuk memahami budaya lain yang berbeda sudut
pandang dengan kita.
Sejauh ini penulis telah memaparkan makna rameune secara umum atau makna yang
sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun tahukah Anda makna
rameune yang sebenarnya?
Asal Usul Rameune
Berdasarkan penjelasan dari Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Nagan Raya, H. Teuku Cut Adek BA, kata rameune dilandasi dari suatu kisah pada zaman dahulu. Konon ada seorang kaya raya yang bernama Said Attah, beliau selalu memuliakan orang yang bertamu kerumahnya dengan cara menghidangkan makanan yang lezat dan dikategorikan istimewa pada saat itu, amal ini beliau laksanakan sebagai rasa syukur kepada Allah Swt. Selain dermawan, Said Attah juga dikenal sebagai seorang ahli ibadat. Beliau sering mengucapkan “rahmani.. rahmani” dalam bahasa Arab, jika ditafsirkan kedalam Bahasa Indonesia berarti “rahmat”, yang merupakan keberkahan dari Allah Swt.
Dikisahkan, masyarakat Nagan Raya waktu itu turut mengucapkan kata-kata dari Said Attah, akan tetapi dalam pelafalan yang kurang fasih serta dimasukkan unsur ke-Acehan, sehingga muncullah kata “rahmeune.” Seiring dengan berjalannya waktu, kata “rahmeune” berevolusi menjadi “meurahmeune” dan akhirnya lebih sering diucapkan dengan istilah “rameune.”
Ini terjadi karena pelafalan dari masyarakat Nagan Raya yang kurang fasih pada saat itu, namun sampai tulisan ini diterbitkan, penulis tidak bisa memastikan jika cerita tersebut adalah informasi akurat atau hanya cerita rakyat yang diceritakan secara turun-temurun, sama sekali tidak ada bukti yang empiris tentang hal ini.
Said Attah yang merupakan pencetus kata rahmani mempunyai tingkat kedermawanan yang tinggi untuk memuliakan tamu-tamunya, sehingga lama-kelamaan tradisi ini diikuti oleh masyarakat pada saat itu yang bertujuan untuk memperkuat tali silaturrahmi serta sebagai rasa penghormatan terhadap tamu. Hal tersebut masih dipertahankan sampai hari ini.
Rameune sebagai Adat
Namun dalam penerapannya, cara memuliakan tamu yang diimplementasikan oleh masyarakat Nagan Raya pada saat ini terkesan memberatkan masyarakat Nagan sendiri. Khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah. Saat ini meuramene juga telah merambah ke berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik, maupun budaya (adat istiadat).
Unsur rameune dimasukkan ke berbagai agenda penting di kalangan masyarakat, mulai dari seorang anak yang masih berusia 7 bulan dalam kandungan sampai anak tersebut turun mandi. Tidak hanya pada acara itu saja, ketika anak akan di khitan pun, ada acara sunnah rasul yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh pada umumnya. Sampai anak tersebut menikah, juga dimasukkan unsur rameune didalamnya, disini terdapat tradisi berupa adanya hantaran dari kalangan saudara serta masyarakat yang terkesan berlebihan.
Hal ini sudah menjadi wajib bagi masyarakat Nagan Raya. Disamping itu, walaupun harus berhutang ke sana ke mari, sebagian besar masyarakat mengadakan acara sunat rasul anak dengan cara yang tergolong mewah. Pada acara perkawinan pun, bagi pasangan yang baru menikah, pihak mempelai wanita istri berkewajiban untuk membawa kue hantaran ke rumah mertua pada hari meugang atau sering dikenal dengan istilah kue isi 15. Tidak sampai disitu saja, setelah kue 15, istri juga “diharuskan” membawa hantaran berupa kue isi 30 saat Hari Raya Idul Fitri tiba. Isinya bervariasi, berupa kue yang menjadi ciri khas Nagan Raya seperti kue Karah dan Bungoeng kayee.
Kesimpulan
Banyak pihak yang menilai adat rameune sebagai tradisi yang berlebihan, akan tetapi inilah yang membedakan masyarakat Nagan Raya dengan masyarakat Aceh pada umumnya, sehingga memiliki kekhususan dan karakter yang membuat masyarakat Nagan Raya menjadi istimewa dan lebih mudah diingat oleh masyarakat Aceh dengan julukan rameune. Seperti kata pepatah, “Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita?” Mungkin landasan inilah yang menjadi referensi masyarakat Nagan Raya sampai hari ini sehingga masih mempertahankan adat yang sangat kental dan tidak termakan oleh waktu.
Nah, setelah membaca tulisan ini Anda sudah tahu kan makna Rameune yang sebenarnya? Walaupun penulis sendiri tidak dapat menjamin asal-usul rameune yang sebenarnya. Penulis juga manusia biasa yang masih memiliki kekurangan referensi dan kelemahan dalam menulis.
Jika Anda mempunyai pemahaman yang lebih mendalam tentang rameune atau memiliki sudut pandang yang berbeda, silahkan tinggalkan komentar. Jangan lupa bagikan postingan ini agar tidak banyak orang yang salah dalam menafsirkan makna rameune yang sebenarnya.